Kenalan dulu: algoritma itu teman, bukan musuh
Kalau kita ngobrol sambil nunggu kopi, aku selalu suka bilang: algoritma itu mirip barista yang tahu pesanan favorit pelanggan. Dia ngatur urutan, merekomendasikan, dan kadang bikin kita kaget karena tiba-tiba viral. Di dunia digital marketing, algoritma—entah itu Google, Instagram, atau marketplace—menentukan siapa yang “naik ke atas” dan siapa yang tetap tersembunyi. Bukan soal keberuntungan semata. Ada pola. Dan pola itu bisa dipelajari.
SEO tetap raja (tapi caranya berubah)
SEO bukan lagi mantra mistis yang cuma pakai kata kunci berulang-ulang. Sekarang SEO lebih halus. Konten yang memberikan jawaban jelas, pengalaman pengguna yang baik (site speed, mobile-friendly), serta sinyal kepercayaan seperti backlink berkualitas, semua dihitung. Aku sendiri sering eksperimen: artikel panjang, pendek, video, infografis—semuanya diuji untuk melihat mana yang disukai audiens dan algoritma. Kadang hasilnya mengejutkan; postingan singkat yang personal bisa lebih engagement daripada long-form yang kaku. Intinya: fokus pada niat pencari (user intent). Kalau kamu memenuhi kebutuhan orang, mesin pencari akan merespon. Santai, tapi konsisten.
AI: asisten baru dalam tim marketing
Belakangan ini aku makin sering main-main sama tools AI. Dari content brief otomatis, pembuatan headline yang catch, sampai analisis data untuk menentukan waktu posting terbaik. AI bukan pengganti kreativitas, tapi mempercepat proses. Misalnya, aku pakai AI untuk brainstorming ide konten ketika otak nge-blank; setelah itu aku poles sendiri supaya tetap terdengar manusiawi. Ada juga tools yang membantu optimasi iklan, memprediksi kata kunci yang bakal naik daun, atau menulis meta description yang klik-worthy. Kalau mau baca referensi lebih teknis soal penggunaan tools ini, ada beberapa sumber bagus di techmarketingzone yang bisa kamu cek.
Tren bisnis online yang perlu dicermati
Tren bergulir cepat. Tahun ini, beberapa hal yang aku perhatikan: first, personalisasi. Pelanggan suka merasa diperlakukan spesial—rekomendasi yang relevan, email yang terasa personal, bahkan packaging yang unik. Kedua, conversational commerce: belanja lewat chat atau DM makin umum. Ketiga, creator economy; orang-orang lebih percaya rekomendasi creator yang mereka ikuti daripada iklan tradisional. Keempat, sustainability dan purpose-driven marketing; brand yang punya cerita dan nilai yang jelas sering mendapat loyalitas lebih tinggi. Dan jangan lupa, omnichannel presence masih penting—orang mau bisa pindah dari Instagram ke website ke toko offline tanpa putus pengalaman.
Saat membangun strategi, aku selalu coba gabungkan tiga hal: data (apa yang terjadi), kreativitas (kenapa bisa terjadi), dan eksperimentasi (apa yang akan kita coba). Data memberitahu pola. Kreativitas membuat pesan menonjol. Eksperimentasi menguji hipotesis. Ketiganya berjalan bersamaan. Kalau salah satunya diabaikan, biasanya hasilnya stagnan.
Ada juga aspek mindset yang sering terlupakan: bersabar. Algoritma butuh waktu untuk “mengenal” kamu. Konsistensi posting, iterasi berdasarkan metrik, dan kesabaran membayar. Jangan mudah putus asa karena satu postingan sepi. Lihat tren mingguan, bulanan. Evaluasi. Ubah. Uji lagi.
Saran praktis? Mulai dengan audit sederhana: cek kecepatan situsmu, pastikan tag-title dan meta description clear, optimalkan gambar, dan buat setidaknya beberapa konten yang menjawab pertanyaan paling umum audiensmu. Pakai AI untuk mempermudah, bukan menggantikan proses kreatif. Investasikan waktu untuk membangun relasi—via newsletter, grup komunitas, atau kolaborasi dengan creator. Itu yang sering jadi batu loncatan kecil tapi berarti.
Akhirnya, bermain dengan algoritma itu seru. Rasanya seperti main puzzle: kadang frustrasi, kadang eureka. Tapi yang paling asyik adalah ketika strategi kecil kita tiba-tiba mendapat momentum—organik traffic naik, konversi bertumbuh, dan komentar positif mulai berdatangan. Terus belajar. Terus coba. Dan jangan lupa, di balik semua metrik itu ada manusia. Fokus pada manusia, algoritma akan mengikuti.